Sabtu 12 Aug 2017 03:30 WIB

Mencium Hajar Aswad

Penjaga Hajar al-Aswad
Foto: alarabiya.net
Penjaga Hajar al-Aswad

IHRAM.CO.ID,  ''Sungguh jika Nabi tak mencium batu ini, aku tak akan melakukannya.'' (Umar bin Khatthab RA)

Mencium Hajar Aswad selalu menjadi pembicaraan serius, karena dipandang sebagai prestasi tersendiri di kalangan jamaah haji. Juga di kloter tempat saya bergabung dan jamaah Indonesia pada umumnya, ketika saya(Wartawan Republika, Siti Darojah Sri Wahyuni) mengunjungi Tanah Suci pada 1995. Mencium Hajar Aswad telah menjadi keinginan, bahkan obsesi tersendiri sebagian jamaah haji. Maka tak heran jika segala cara diupayakan untuk bisa melakukannya. Ada yang mencobanya tengah malam. Tapi ada juga yang mencobanya tengah hari bolong.

Saya tidak demikian. Sejak berangkat dari rumah, saya tak terlalu berambisi mencium Hajar Aswad karena ingat hadis di atas. Lagi pula orang-orang di rumah selalu berpesan agar selalu menjaga kesehatan agar tidak jatuh sakit. Pesan yang wajar karena saya berangkat haji sendirian. Saya tak mau hanya karena mencoba mencium Hajar Aswad, badan saya menjadi sakit dan tak bisa mengikuti wukuf dan ibadah wajib lainnya.

Apalagi ketika mendengar seorang gadis dari Bandung dan sepasang suami istri meninggal di dekat Hajar Aswad karena terinjak. Untuk memulai tawaf, saya hanya mengangkat tangan kanan dan mengecupnya. Tawaf sunnah pun saya lakukan siang hari atau menjelang salat Ashar. Panas memang. Tapi cukup lengang dibandingkan melakukannya pada waktu Subuh atau selepas Magrib.

Saya bungkus kepala dengan handuk basah dengan semprotan air tergantung di badan. Kaca mata hitam tak pernah lepas karena jika tidak, buku doa yang saya bawa tak bisa terbaca. Silau. Saya berangkat dengan Kloter 71/86 HLP. Kloter saya sesungguhnya adalah Kloter 71 HLP. Tapi ketika masuk asrama berdasar Surat Panggilan Masuk Asrama (SPMA), ternyata visa saya dan puluhan calhaj lainnya belum siap. Saya pun menginap selama tiga hari dan akhirnya berangkat dengan Kloter 86 HLP bersama jamaah dari Lampung, Semarang, Timor Timur, dan Kalimantan Barat yang rata-rata menginap di Pondok Gede lebih dari tiga hari, kecuali jamaah dari Timor Timur.

Situasi di Madinah sudah ramai ketika saya datang. Untuk menginjakkan kaki di Raudah, tempat antara Mimbar dan rumah Nabi yang dibatasi oleh tiang putih dan lantai putih, sulit bukan main. Ini dikarenakan perempuan baru bisa masuk pada jam-jam tertentu yakni pukul 08.00 dan pukul 13.30 waktu setempat atau selepas salat Zuhur. Tidak demikian dengan jamaah pria. Maka setiap kali pintu menuju Raudah dibuka, ratusan orang berhamburan dari masjid bagian dalam dan bagian luar agar bisa sekadar salat dan berdoa di tempat mulia itu. Padahal aturan yang ada bukan demikian.

Berdasar hadis nabi, masuk Masjid Nabawi dari pintu Babussalam. Kemudian menuju Raudah untuk melakukan salat tahiyyatul masjid. Satu kali saya pun berhasil menginjakkan kaki di Raudah. Itu karena tubuh saya terdorong dari belakang, tapi tak bisa bergeser atau mundur karena di depan saya papan pembatas antara lelaki dan perempuan sedang di belakang saya jamaah wanita berhimpit.

Seorang wanita Arab menyuruh saya shalat. Dia bilang akan menjaga saya dan ia juga minta saya melindunginya saat ia shalat. Kami pun salat bergantian. Padahal semula saya ragu karena tak tahu salat apa yang saya lakukan mengingat tahiyatul masjid sudah saya kerjakan ketika masuk untuk salat Zuhur dan belum selangkah pun keluar dari masjid. Maka dalam hati saya niatkan untuk salat sunnah. Agar bisa shalat Subuh di dalam Masjid Nabawi, saya harus antre sejak pukul 03.00 waktu setempat.

Pintu Masjid Nabawi dibuka pukul 03.30. Maka, saya mengikuti teman-teman melakukan salat malam di masjid menjelang fajar. Masuk sulit, keluar pun demikian. Mekkah juga sudah padat ketika saya tiba di sana. Saya melakukan tawaf umrah bersama dengan teman-teman satu rombongan, sekitar 45 orang. Tapi kami terpencar karena situasi sangat crowded.

Saya merasa kaki ini melangkah tidak sewajarnya melainkan karena terdorong dari belakang. Saat berhenti untuk mengangkat tangan setiap kali awal putaran, saya sempat melirik tempat Hajar Aswad diletakkan. Di atasnya ada seorang askar, polisi Arab, bergantung pada seutas tali untuk menjaga agar tidak ada yang celaka karena terinjak atau terhimpit meski kerap terjadi juga. Ratusan orang mencoba mendekat.

Hasrat saya untuk turut memasukkan wajah ke lubang batu yang dibawa Malaikat Jibril dari surga itu hilang seketika. Selain karena hadis tadi, saya lihat situasi tak memungkinkan bahkan sekadar mendekat untuk melihat bagaimana bentuk Hajar Aswad itu. Saya sudah cukup senang ketika bisa bersujud di Hijir Ismail, sebuah tempat yang jika kita salat di situ menurut Nabi sama dengan salat di dalam Ka'bah. Sembari menunggu pelaksanaan wukuf, saya menjalankan salat di Masjid Al Haram.

Semakin hari kenalan saya semakin banyak. Dari Aceh yang tak mengerti betul bahasa Indonesia sampai orang India yang membujuk saya agar memberinya mukena buatan ibu saya. Belum lagi sepekan berada di Mekkah, tiga orang gadis dari Ujung Pandang menyapa saya. Saya ingat waktu itu kami baru saja melaksanakan salat Zuhur. Setelah bertanya dari mana asal saya, mereka langsung bertanya,''sudah berhasil mencium Hajar Aswad?.'' Saya menggelengkan kepala.

Mereka bercerita bahwa mereka sudah lebih dari tiga kali melakukannya. ''Bagaimana bisa?'' saya bertanya. Bagi saya, melihat dari dekat saja sulit apalagi menciumnya. ''Siang hari lebih mudah. Dekati Askar dan katakan bahwa kita dari Indonesia. Mereka pasti mengulurkan tangan dan membantu kita,'' katanya.

Tiba-tiba mereka bangkit. ''Mau kemana, hendak tawaf?'' tanya saya. ''Tidak, mau mencium Hajar Aswad.'' Saya sempat bingung karena setahu saya mencium Hajar Aswad itu dilakukan saat hendak memulai tawaf. Tapi itu tidak saya pikirkan karena saya ingin segera tidur dan mencari tiang untuk bersandar sembari menunggu waktu Ashar. Matahari sangat terik dan saya enggan pulang. Saya berada di masjid sejak Zuhur hingga Isya karena pemondokan saya jauh. Saya enggan tidur di pemondokan karena menurut saya tidak nyaman. Kamar yang kecil dihuni tujuh orang.

Jika siang, para suami berkumpul di kamar sempit itu untuk makan, minum dan ngobrol sembari merokok di kamar. Buat saya, lebih baik berdiam di masjid kecuali malam hari. Tiba-tiba belum satu jam, mereka sudah kembali dengan wajah memerah. ''Kami bisa melakukannya lagi.'' Menurut mereka, setelah menunggu lama askar mengulurkan tangan dan menariknya hingga ke depan Hajar Aswad.

Saya diam saja. Tapi dalam hati saya berkata, ''Saya hanya akan melakukannya jika hendak tawaf. Itu pun jika memungkinkan.'' Tapi saya juga bergumam, beruntung sekali jamaah kloter awal, bisa shalat di dalam masjid dengan leluasa karena belum banyak jamaah lain. Suatu kali usai melakukan tawaf, saya mencoba masuk ke Multazam, tampat antara pintu Ka'bah dan Hajar Aswad. Saya ingin bisa berdoa di tempat itu karena menurut hadis, tempat itu mulia untuk berdoa. Tiba-tiba bahu saya disentuh orang. Saya menoleh dan dia bilang apakah saya mau mencium Hajar Aswad. 'Ya,' kata saya.

Entah, mengapa logika saya tentang batu yang saya pegang itu hilang. Saya pun menurut ketika dia mendorong saya mendekat ke Hajar Aswad. Saya sempat menyerah karena nafas saya sesak karena terhimpit orang banyak. ''Sudah, sudah. Tidak usah saja,'' kata saya. Tapi dia tak mau menyerah dan terus mendorong. ''Ini sudah di depan Hajar Aswad.'' Saya melihat batu itu. Dari luar batu hitam itu terbungkus besi berwarna perak dan di dalamnya tampak sudah retak-retak dan harum. Saya pun menciumnya.

Tak ada rasa apa-apa kecuali sedikit rasa haru dan sesak nafas karena terdesak oleh jamaah lain. Saya pun cepat-cepat mundur. Saya mengucapkan terima kasih kepada pria yang menolong saya. Dia hanya tersenyum dan berkata sesama orang Indonesia harus saling membantu. Saya tidak tawaf setelah itu sebagaimana seharusnya.

Rupanya saya sama saja dengan yang lain. Ingin melakukannya lagi. Saya coba sekali lagi beberapa hari menjelang pulang. Waktu itu menurut penglihatan saya, situasi agak senggang. Saya berniat kali ini saya menciumnya untuk memulai tawaf. Posisi saya sudah di depan sampai saya merasa ada orang yang berdiri di atas bahu. Saya melihat dia melompat dari pilar di dekat Hajar Aswad sembari tangannya berpegang entah pada apa. Secepat kilat saya mundur tapi baju saya yang panjang tertahan. Saya tarik keras-keras sembari mundur. Saya berhasil mundur, tapi beberapa buah kancing baju saya lepas.

Akhirnya saya hanya bergumam, ''Itu memang batu biasa, kecuali didatangkan dari surga.'' Di rumah, saya katakan saya tak berhasil mencium Hajar Aswad tapi minus cerita kancing baju yang lepas itu. Padahal, dalam hati senang juga melakukannya kendati bukan pada ajaran yang seharusnya, mencium Hajar Aswad untuk memulai tawaf.

sumber : Disarikan dari Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement