Jumat 13 Dec 2019 16:10 WIB

Tak Logis Menyita Hak Korban First Travel Jadi Aset Negara

Aset First Travel bukan aset negara.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Tak Logis Menyita Hak Korban First Travel Jadi Aset Negara. Foto: Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Tak Logis Menyita Hak Korban First Travel Jadi Aset Negara. Foto: Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi

IHRAM.CO.ID, Sekitar 60 ribu calon anggota jamaah umrah First Travel harus gigit jari. Meski sanksi pidana telah dijatuhkan kepada pelaku, pengembalian hak jamaah tak kunjung datang. Di tengah duka, muncul gerakan dari para pengusaha biro travel dan masyarakat untuk memberangkatkan para korban. Hanya, apakah pemberangkatan tersebut meng hilangkan kewajiban negara untuk mengganti hak para mereka? Wartawan Republika, Imas Damayanti, mewawancarai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi melalui sambungan telepon, Rabu (11/12). Berikut kutipannya.

Bagaimana penilaian Anda me nge nai gerakan Save Their Umrah?

Baca Juga

Tentu saja bagus. Ada inisiatif yang sifatnya solidaritas dari masyarakat.

Tapi apakah hadirnya gerakan ini menghilangkan tanggung jawab negara?

Harusnya tidak. Negara harus hadir, terlebih di saat kondisinya sangat pelik begini. Tapi, yang perlu jadi catatan adalah aset First Travel ini sangat sedikit, agak rumit jika harus dibagi-bagikan. Mekanisme pembagiannya seperti apa, adilnya seperti apa, itu yang agak susah.

Artinya aset tersebut harus kembali ke jamaah?

Harus. Sudah pasti, itu hak konsumen (jamaah). Kalau diambil alih negara, itu tindakan keliru. Kenapa? Karena First Travel itu bukan aset negara, dia adalah perusahaan biro perjalanan. Jadi, tidak ada alasan logis untuk menyita asetnya dan dijadikan milik negara.

Kalau dijumlahkan, kira-kira dari aset tersebut jamaah bisa dapat berapa?

Kalau asetnya sekitar Rp 80 mi liar-Rp 30 miliar, lalu dibagi 60 ribu jamaah, bisa-bisa per jamaah itu hanya bisa terima Rp 50 ribu. Kecil sekali. Untuk itu, perlu kecerdasan dari pemerintah mengatur hal ini. Perlu didiskusikan lebih lanjut. Pembagian ini tidak mudah jujur saja, memformulasikannya akan sangat sulit.

Bagaimana pengembalian yang idealnya menurut Anda?

Jujur saja, ini sulit. Itulah mengapa pemerintah harus diskusi. Saya lihat (mekanisme pembagiannya) tidak mungkin dibagikan satu-satu per orang. Nah, apakah bakal dibagikan kolektif, itu juga perlu dipertimbangkan lebih jauh. Harusnya pemerintah itu membentuk komisi yang bertugas untuk mengatur mekanisme ganti rugi ini, pengembalian aset ini. Penting sekali karena jumlah aset First Travel yang ada sangat jauh lebih kecil nilainya daripada jumlah jamaahnya itu sendiri.

Tragedi penipuan umrah oleh First Travel ini bukan yang sekali terjadi, bagaimana catatan YLKI?

Itu yang jadi persoalan. Kasus penipuan atau sistem bisnis dengan skema Ponzi ini sering terjadi di biro perjalanan umrah. Di tahun yang sama, ada kejahatan serupa dari travel umrah. Misalnya Hanien Tour dan juga Abu Tours, sama kurang lebih penipuan modusnya seperti First Travel.

Apa yang perlu menjadi catatan pemerintah dari kasus-kasus tersebut?

Yang paling penting adalah pengawasan. Penting sekali. Kementerian Agama tidak boleh lengah terhadap biro perjalanan umrah yang menggunakan sistem Ponzi ini. Tapi, yang terjadi, kan terus berulang dan mengapa dibiarkan? Harusnya ada satgas (satuan tugas) untuk itu. Sejujurnya, pengawasan negara soal ini sangat lemah.

Langkah tegas yang perlu diterapkan pemerintah untuk menekan kasus serupa terulang?

Perketat perizinan, evaluasi kinerja biro-biro perjalanan umrah. Kalau misalnya ada biro perjalanan umrah yang nakal, segera cabut izin nya sedini mungkin. Supaya tidak menimbulkan efek sedahsyat yang dilakukan First Travel. Butuh ketegasan dan juga pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah

sumber : Dialog Jumat/Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement