IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Hijrah seorang muslim dari negara kafir menuju negara Islam merupakan bagian dari hijrah secara fisik yang diklasifikasikan para ulama. Maksud dari negara kafir adalah negeri yang tidak bisa dijalankan ajaran Islam secara terang-terangan di dalamnya.
"Atau negeri yang menampakkan permusuhannya (dar al-harb) terhadap umat Islam hingga berpotensi untuk terjadinya peperangan dengan umat Islam," kata Isnan Ansory, Lc., M.Ag melalui bukunya "Hijrah Dalam Perspektif Fiqih Islam."
Isnan mengatakan, para ulama umumnya sepakat bahwa hijrah jenis ini masih terus berlangsung hingga hari kiamat. Dan bahkan umumnya para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut: "Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah telah mengirim kami dalam sebuah kesatuan militer menuju Khats'am, kemudian orang-orang di antara mereka berlindung dengan bersujud, kemudian cepat terjadi pembunuhan di antara mereka. Lalu hal tersebut sampai kepada Nabi dan beliau memerintahkan agar mereka diberi setengah diyah. Dan beliau berkata: "Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik." Mereka bertanya; kenapa wahai Rasulullah? Beliau berkata: kedua api peperangan mereka saling melihat. (HR. Abu Dawud dan Tirmizi).
Namun dikecualikan dari kewajiban hijrah ini untuk dua pihak, yaitu orang yang tidak mampu melakukan hijrah dan orang yang mampu melakukan hijrah, namun ia dapat menjaga agamanya serta orang-orang kafir tidak bisa menyakitinya atau menghalangi dirinya untuk menjalankan ajaran Islam.
Pengecualian bagi orang yang tidak mampu, didasarkan kepada surat An-Nisa ayat 97-99 yang artinya.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (97) kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya mereka upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). (98) itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (99).
Sedangkan pengecualian untuk orang yang dapat menjaga agamanya didasarkan kepada izin Nabi SAW kepada pamannya al‘Abbas bin Abdul Muthollib dan sebagian shahabatnya seperti Umair bin Wahab, untuk tetap tinggal di Mekkah pada fase hijrahnya para shahabat ke Madinah.
Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata dalam kitabnya, al-Umm: Sunnah Rasulullah saw menjelaskan bahwa hijrah diwajibkan atas orang yang mampu dan berpotensi untuk tidak selamat dari fitnah atas agamannya di negri yang ia tinggali. (Adapun bagi yang dapat menjaga agamannya, maka tidaklah wajib) Sebab Rasululah mengizinkan kepada sebagian shahabatnya untuk tetap tinggal di Mekkah setelah mereka masuk Islam seperti al-‘Abbas bin Abdul Muthollib dan selainnya.