Ahad 07 Feb 2021 10:25 WIB

Menunggu Perbaikan Layanan Perbankan Syariah di Indonesia

Perbaikan Layanan Perbankan Syariah di Indonesia

Bank Syariah Indonesia
Foto:

Indonesia kata Ibrahim yang juga direktur perusahaan pialang, Garuda Berjangka, mulai memiliki industri keuangan syariah sejak 30 tahun lalu, ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat pada 1991.

Namun hingga kini pangsa pasar bank syariah baru menembus 6 persen dengan total aset Rp499,98 triliun Itupun baru dicapai pada 2019 lalu.

Saat ini, perbankan syariah baru mempunyai 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), 20 unit Usaha Syariah (UUS) dan 14 Bank Umum Syariah (BUS).

Kondisi yang tidak menggembirakan ini menurut Ibrahim menuntut pelaku bank syariah tidak hanya mengampanyekan nilai-nilai keislaman dalam mencari nasabah dan mengelola bisnis. Namun juga harus memiliki keunggulan-keunggulan seperti kemudahan layanan serta teknologi yang dimiliki bank konvensional.

“Bank syariah itu sudah ada sejak lama, namun bank ini tidak bisa bersaing. Masyarakat Indonesia sejak zaman Belanda sudah terbiasa dengan layanan bank konvensional, seperti membayar bunga dan jaminan,” ujar dia.

Untuk mengubah kondisi ini, menurut dia perlu kerja keras dan kreativitas agar pasar bank syariah makin ekspansif.

Dia memperkirakan bank ini baru akan booming pada 2023-2024 setelah bisa melakukan konsolidasi SDM dan teknologi.

Jika tidak, BSI ini hanya akan mengulangi kegagalan Bank Muamalat, sebagai perintis perbankan syariah di Indonesia yang saat ini terseok-seok menghadapi persaingan.

Peneliti di Center of Reform on Economics (Core) Ebi Junaidi mengatakan dalam struktur keuangan Indonesia, penggabungan tiga bank syariah ini membawa optimisme karena bisa mengakselerasi pertumbuhan.

Selama ini orang enggan mempunyai akun di bank syariah karena beberapa hambatan seperti biaya transfer antar-bank yang dirasa memberatkan.

Karena itu pangsa pasar bank syariah tidak berkembang dengan cepat, padahal diprediksi sudah melebihi 5 persen dari total aset perbankan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.

“Mengapa tidak jadi kenyataan? Itu karena ada barrier untuk memiliki lebih banyak akun di banyak bank, “ujar dia.

“Penggabungan bank ini bisa menghilangkan biaya transaksi, yang sebelumnya harus membayar jika ada transaksi antar-bank,” tambah dia.

Bank dengan ukuran besar, menurut Ebi akan meningkatkan peluang mendapatkan dana murah sehingga bisa bersaing memberikan kemudahan kredit atau layanan lain dengan bank konvensional.

Target BSI untuk bertransformasi menjadi bank BUKU IV dalam dua tahun juga perlu diapresiasi dan sangat mungkin bisa tercapai, ujar dia.

Selain itu, rencana untuk masuk ke kancah industri keuangan Islam global dengan membuka cabang di Timur Tengah juga sangat ditunggu realisasinya.

Ini karena hampir 71 persen dana bank syariah ada di kawasan tersebut sehingga memperbesar peluang penerbitan sukuk global.

Senada dengan Ibrahim, Ebi juga mensyaratkan agar BSI bisa melakukan integrasi antar-bank agar bisa mulai bekerja dengan optimal.

Selain itu masalah reorganisasi serta penempatan pegawai juga menjadi isu penting.

“Tempatkan orang sesuai keahliannya, SDM ditempatkan di tempat yang paling tepat. Jika di antara pegawai muncul pengelompokan, eks bank A atau bank B itu akan jadi tantangan,” ujar dia.

Tantangan berikutnya adalah memperkuat layanan organisasi, terutama layanan IT, agar tidak ada lagi keluhan layanan mobile banking yang bermasalah.

Masalah layanan teknologi informasi, BSI harus berpikir seperti halnya pengelola market place, “jika ada kerusakan sedikit saja, error, mereka akan merasa rugi besar. Seperti ini kita harapkan dibangun di bank syariah baru.”

Menurut dia investasi besar-besaran dalam bidang IT akan sangat dibutuhkan oleh BSI.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement