Ahad 21 Feb 2021 08:59 WIB

Belajar dari Pengelolaan Wakaf Baitul Asyi' Aceh di Makkah

Wakaf orang Aceh di Masjidil Haram

Habib Bugak dan wakaf tanahnya yang kini jadi hotel di dekat Masjidil Haram.
Foto:

Namun,  jejak sejarah soal rumah dan pemukiman warga Nusantara--termasuk Aceh  ada pada berbagai tulisan Snouck Hurgronje. Di sana dijelaskan bahwa mukimin Makkah selalu erat berubungan dengan masalah politik di Tanah Air.

Salah satu contoh pastinya ada pada sosok penulis "Syair Prang Sabi" yang legendaris: Chik Panti Kulu. Dalam perjalanan pulang dari Makkah itulah dia menulis syair perlawanan  yang memberi pupuk yang membuat kian berkobarnya Perang Aceh.

Orang kaya asal Aceh, Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Bugak Asyi), pun sejak awal tahun 1800-an sudah mewakafkan tanah dan rumah miliknya di Makkah. Lahan tanah itu memang berada di tempat strategis karena sangat dekat dengan Ka'bah, bahkan kini ada di area perluasan Majidil Haram. Harga lahannya kini jelas selangit alias mahal sekali.

Dalam ikrar wakaf Habi Bugal Asyi berikrar begini. Ikrar ini diambil dari biografi Habib Adurrahman bin Alwi al-Habsyi (Habib Bugak Aceh. Buku ini hasil kajian dan ditulis Prof Dr Syahrizal Abbas MA, Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad PhD, Dr Munawar A Djalil MA, Dr Khairuddin, dan Ir Sulaiman AW MP.

“Rumah tersebut (Baitul Aysi) dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang datang ke Makah untuk menunaikan ibadah haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Makah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Makah untuk haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri atau mahasiswa) Jawi,”. (Jawi atau Jawa adalah istilah yang waktu itu digunakan untuk menyebut pelajar atau mahasiswa wilayah Asia Tenggara) yang belajar di Makkah).

Keterangan: Acara pemberian uang saku bagi jamaah haji asal Aceh di pemondokan 605, Syisya, Makkah, Arab Saudi oleh badan wakaf Habib Bugak Al Asyi pada tahun 2017 lalu

“Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Makah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Makkah yang belajar di Masjidil Haram, sekiranya mereka inipun tidak ada juga, maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai keperluan Masjidil Haram.”

''Para mukimin dari berbagai penjuru dunia bertukar pikiran dengan aneka isu yang terjadi di negaranya masig-masing. Mereka tidak hanya belajar, berhaji, atau tinggal. Mereka juga berdikusi mengenai isu mutakhir. Ada perkumpulan diskusi, tak hanya berbahasa Arab tapi banyak juga memakai bahasa asalnya, termasuk bahasa Melayu,'' begitu catatan Snouck Hurgonje. Pada kemudian hari Snouck mempelajari karakter orang Aceh--dan juga orang nusantara. Makkah dengan para mukiminnya saat itu adalah pusat "pusat pergerakan Islam" di Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement