Ahad 21 Feb 2021 08:59 WIB

Belajar dari Pengelolaan Wakaf Baitul Asyi' Aceh di Makkah

Wakaf orang Aceh di Masjidil Haram

Habib Bugak dan wakaf tanahnya yang kini jadi hotel di dekat Masjidil Haram.
Foto:

Dan bila melihat ke belakang lagi, yakni zaman dahulu, sebenarnya tak hanya Aceh yang punya tanah di Makkah. Berbagai kesultanan yang ada di nusantara punya tanah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal bagi warganya yang tengah berada di kota suci. Mereka tinggal di sana secara gratis tanpa dipungut biaya apa pun, misalnya, sewa atau hingga biaya akomodasi harian.

Maka, di Makkah kala itu di kenal banyak bait atau rumah milik orang Banjar, Riau, Minangkabau, Bugis, Ternate, Banten, Jawa, dan lainnya. Para orang kaya yang berasal dari suku itu yang membelinya. Para sultan di Nusantara adalah salah satu pihak yang punya di antaranya.

Uniknya lagi, mereka tidak membeli tanah di Makkah yang sembarangan atau tidak stategis. Mereka membeli tanah di siktar area Masjidil Haram. Mereka jelas bisa membelinya karena orang nusantara pasti orang yang punya duit, bahkan kadang merupakan orang yang diutus oleh para sultan (dahulu tahun 1620-an ada utusan Kesultanan Mataram Jawa dan Banten).

Pada tahun yang lebih modern ada orang yang mendapat restu sultan untuk pergi dan belajar di Makkah. Orang ini adalah KH Ahmad Dahlan yang notabene juga anak abdi dalem Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta. Dia pergi beberapa kali pada awal tahun 1900-an.

Sayangnya, saking ikhlasnya tidak ada yang mengelola secara profesional tanah atau rumah itu selayaknya orang Aceh itu. Mereka tak secara jelas mewakafkan atau mengalihkan kepada pihak siapa dan untuk tujuan apa atas tanah tersebut. Apalagi kini perluasan Masjidil Haram terus berlangsung. Rumah dan aneka bangunan milik pribadi di sekitar Ka'bah dibongkar dan dipinggirkan. Akibatnya, hanya rumah wakaf milik orang Aceh itu yang memang letaknya tak jauh dari Masjidil Haram yang jelas nasibnya.

Jadi, tanah wakaf di Makkah itu ternyata mengandung soal begitu komplek dan rumit. Pertaruhannya tak hanya soal fulus belaka, tapi juga menyangkut soal sejarah perkembangan Islam di nusantara. Bahkan, bisa lebih jauh, yakni soal perlawanan dan perjuangan melawan kolonial sampai eksistensi pendirian negara republik Indonesia.

--------

  • Di sunting dari buku 'Tawaf Bersama Rembuan' karya Muhammad Subarkah, Penerbit Republika tahun 2020.
  • Hasil gambar untuk tawaf bersama rembulan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement