Berdasarkan keterangan pada sistem informasi masjid Kementerian Agama (Kemenag), Masjid Cipaganti mengusung perpaduan konsep Eropa dan Jawa. Unsur seni bangunan Jawa, yaitu penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru dan detail ornamen bunga maupun sulur-suluran. Unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segitiga penyangga atap.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Cipaganti Mochamad Zaenal Muttakin mengungkapkan Masjid Cipaganti di wilayah Utara Kota Bandung ini sudah ada dan berdiri sejak 1800-an. Masjid saat itu masih dibangun dengan material bilik dan bernama Masjid Kaum Cipaganti.
Ia menuturkan, pada 1930-an pemerintah Belanda hendak mengubah kawasan Cipaganti menjadi perumahan elite bagi warganya. Masjid pun hendak dibongkar sebab akan dijadikan jalan oleh pemerintah saat itu.
Namun, para kaum Muslimin keberatan dengan hal tersebut dan menginginkan masjid tetap ada. Seiring waktu, pemerintah Belanda mempersilakan masjid tetap berdiri, namun dengan persyaratan harus dibangun permanen.
"Ditulis di media massa tempo dulu, penghulu Bandung dan masyarakat protes setelah (masjid) diruntuhkan dan mau dijadikan jalan. Pemerintah Belanda akhirnya mempersilakan mau dibikin masjid harus permanen karena di sekeliling mau dibuat perumahan Belanda," ujarnya saat ditemui akhir pekan lalu.