Jumat 02 Jul 2021 05:03 WIB

Kisah-kisah dari Krematorium India

Pekerja krematorium berjuang untuk mengatasi jumlah kematian akibat COVID di India.

Deen Dayal Verma, seorang pekerja krematorium di Barabanki, Uttar Pradesh, duduk di bawah naungan di dalam kompleks krematorium tempat dia bekerja
Foto:

Merasa seperti burung pemakan bangkai

Tak hanya itu saja, Ankit pun merasa bila dirinya kini  seperti burung pemakan bangkai yang memakan mayat. Dan bagi keluarganya dia kini layaknya satu-satunya “bonus”. Sebab, Ankit, adalah satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga karena menghasilkan lebih banyak uang.

Pelru diketahui bila dahulu biaya standar kremasi adalah sebesar Rs 500 ($ 7) per mayat, kini telah meningkat menjadi Rs 2.000 ($ 28). Uniknya dia menagku bila keluarganya menemukan sedikit kegembiraan dalam hal ini.

“Melakukan kremasi adalah urusan keluarga kami, tetapi sekarang saya merasa memamng hidup seperti burung pemakan bangkai yang memakan mayat,” kata ayah Ankit, Vipin Bihari, 50 tahun, yang telah pensiun dari pekerjaan pemakaman.

“Saya belum pernah melihat kematian sebanyak itu dalam hidup saya dan putra saya harus melihat dan bekerja dalam situasi yang tidak menguntungkan ini. Keluarga kami tidak pernah berpikir untuk mengubah profesi tetapi sekarang saya merasa anak-anak kami harus melakukan sesuatu yang lain,'' ungkapnya lagi.

Kecewa dengan prospek keluarga yang tersisa dalam bisnis kremasi, Vipin mengatakan dia sedang mempertimbangkan untuk membuka toko kelontong di dekatnya yang dapat dia wariskan kepada anak-anaknya. Dia pun menambahkan bahwa istrinya sangat merindukan putra mereka meskipun dia tinggal di kamar sebelah.

“Setiap malam istri saya meminta saya untuk menghentikan Ankit pergi ke tepi sungai dan melakukan kremasi. Namun, jika dia berhenti melakukan ini, apa lagi yang akan kami lakukan untuk mendapatkan roti dan mentega?,'' keluhnya.

Vipin mengaku menangis, bahkan sempat berkelahi dengan analnya itu. ''Saya sempat berkelahi dengan Ankit juga, tetapi kemudian menghibur dirinya bahwa dia memperhatikan keluarga dan memahami bahwa Ankitlah satu-satunya pencari nafkah sekarang. Apalagi kami tidak memiliki tanah dan putra sulung kami sakit. Sehingga semua beban penghasilan hanya berada di Ankit.”

Tales from an Indian crematorium | Coronavirus pandemic – Breaking News,  World Latest News, India News, Today's News, India Latest Stories

Keterangan foto: Ankit membaca sendirian di kamarnya di rumah keluarga. Dia harus tetap terpisah dari anggota keluarganya yang lain untuk berjaga-jaga jika terkena COVID selama bekerja di krematorium [Saurabh Sharma/Al Jazeera] 

Ankit pun mengatakan bila merasa seperti menipu agamanya. Ini karena dia mengubur lebih banyak mayat dan tidak membakarnya sesuai dengan ritual keagamaan. Namun itu sebatas itu aja yang  sekarang bisa sdia akukan?.

“Seperti yang ayah saya katakan, 'kami tidak lebih dari burung nasar'. Kami memakan mayat. Semakin banyak mayat, semakin banyak uang tetapi tidak ada yang membayar kita dengan perasaan senang hati. Sering kali saya merasa bahwa uang ini bahkan lebih buruk daripada mengemis, tetapi ini adalah hidup saya dan saya menerimanya apa adanya,'' tandas Ankit. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement