Kamis 23 Sep 2021 01:49 WIB

Kehidupan Muslim Swiss di Bawah Bayang-Bayang Tragedi 9/11

Komunitas Muslim Swiss hidup di bawah bayang-bayang tragedi 9/11

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
 Para penyembah Muslim yang mengenakan topeng pelindung wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap penyebaran antrian coronavirus COVID-19 di depan Masjid Jenewa, juga dikenal sebagai Masjid Petit-Saconnex, untuk sholat pertama setelah pembukaan kembali Masjid di Jenewa, Swiss, 1 Juni 2020.
Foto:

Meski telah ada Muslim yang tinggal di Swiss selama ratusan tahun, mayoritas komunitas Muslim Swiss saat ini tiba sebagai pekerja tamu dari Turki, Bosnia, dan Kosovo pada 1960-an. Liberalisasi kebijakan imigrasi pada 1991 memungkinkan para pekerja untuk membawa keluarga mereka, banyak di antaranya melarikan diri dari konflik di Balkan.

Antara tahun 1960 dan 2000, jumlah Muslim di SwissExternal link meningkat dari 2.703 menjadi 310.807, sehingga menjadikannya sebagia komunitas agama terbesar ketiga di negara tersebut. Tumbuh di kota pedesaan dengan hanya 10 ribu penduduk yang didominasi kulit putih, awalnya warna kulit Maymunahlah yang menjadi sumber diskriminasi.

Namun, dalam dua puluh tahun terakhir dia merasakan perubahan sikap terhadap Muslim dan sekarang mengatakan dia semakin menghadapi diskriminasi karena keyakinannya pada Islam.

Munculnya kelompok-kelompok Islamis kekerasan yang menargetkan Barat mendorong pengerasan sikap terhadap minoritas Muslim Swiss. "Sebelum 9/11, kebangsaan yang menjadi fokus orang, setelah itu menjadi agama," kata nder Güneş, juru bicara Federasi Swiss Organisasi Payung Islam External link (FIDS).

Di mata penduduk Swiss yang lebih luas, serangan 9/11 mengubah migran menjadi Muslim, dan Muslim menjadi radikal. Serangan 9/11 diikuti oleh serangan lebih lanjut di Eropa, termasuk pemboman kereta api Madrid pada tahun 2004 dan pemboman London Underground 2005, yang menewaskan masing-masing 191 dan 56 orang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement