Kamis 23 Sep 2021 01:49 WIB

Kehidupan Muslim Swiss di Bawah Bayang-Bayang Tragedi 9/11

Komunitas Muslim Swiss hidup di bawah bayang-bayang tragedi 9/11

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
 Para penyembah Muslim yang mengenakan topeng pelindung wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap penyebaran antrian coronavirus COVID-19 di depan Masjid Jenewa, juga dikenal sebagai Masjid Petit-Saconnex, untuk sholat pertama setelah pembukaan kembali Masjid di Jenewa, Swiss, 1 Juni 2020.
Foto:

Albana Azemi dan ibunya, misalnya, baru mulai mengenakan jilbab pada 2009 ketika referendum pembangunan menara Masjid mendorong mereka untuk menentang apa artinya menjadi seorang Muslim.

“Larangan menara memaksa saya untuk memutuskan antara identitas Islam dan Swiss saya, tetapi saya memutuskan bahwa saya adalah keduanya”, jelas Albana, duduk di meja dapur dengan jilbab abu-abu dan jubah hitam. 

Seperti banyak Muslim dengan asal Balkan, ayah Albana datang ke Swiss sebagai pekerja tamu pada tahun 1988. Anggota keluarganya yang lain menyusul tak lama kemudian. Dengan koneksi kembali ke Islam, dia dan keluarganya sekarang berdoa secara teratur, menggunakan sajadah yang dia simpan di bawah sofa di ruang tamu.

Dia ingat saat dirinya menyaksikan serangan 9/11 terungkap di televisi ketika dia baru berusia 11 tahun. Dua puluh tahun kemudian, dia menyadari bahwa wacana media dan referendum yang mengikutinya telah secara signifikan membentuk pengalamannya tumbuh di Swiss. 

 

Setelah larangan penutup wajah penuh mulai berlaku awal tahun ini, Albana mengatakan orang-orang di jalan mendekatinya untuk memberi tahu dia bahwa dia tidak lagi diizinkan mengenakan jilbab. "Banyak yang bahkan tidak tahu apa yang mereka pilih," sembari menyalahkan wacana politik dan media untuk melegitimasi diskriminasi terhadap Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement