Selain menyimpan fenomena mata air, masjid ini juga memiliki keunikan pada arsitektur bangunannya. Masjid Ar-Raudhah memiliki gaya bangunan dari dua kebu da yaan yang berbeda, yakni Betawi dan Eropa. Unsur Betawi dapat terlihat dari terali-terali besi yang dicat warna hijau. "Gaya Eropa dapat dilihat dari ukiran yang ada di daun pintu masjid ini," kata dia menambahkan.
Dari luar, bangunan ini tidak tampak seperti masjid pada umumnya. Tidak terdapat kubah maupun ciri khas masjid. Model bangunannya tampak terlihat seperti bangunan rumah biasa yang bentuknya me man jang. Bagian atapnya pun hanya terbuat dari genting biasa.
Namun, nuansa masjid baru terlihat setelah kita memasuki bagian dalam bangunan tersebut. Tampak mihrab tempat imam berdiri, karpet yang menjadi sajadah panjang, serta rak Alquran di bagian depannya. Tetapi, saat akan memasuki bagian dalam masjid, bagi perempuan yang sedang menstruasi tidak diizinkan untuk masuk.
Hal ini, menurut Sholihin, disebabkan karena pada awal berdirinya bangunan ini memang tidak diperuntukkan sebagai masjid atau tempat ibadah umat Muslim. Melainkan, sebagai pusat pengajaran, perkumpulan, atau majelis Muslim.
Di masjid inilah lahir organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, yakni Jamiatul Khair pada 1901. Banyak tokoh Islam yang lahir dari organisasi ini, seperti KH Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, hingga H Agus Salim. Masjid ini juga dulunya dikhususkan bagi para perempuan untuk mengakses ajaran Islam.
Usai mengeksplorasi Masjid Ar-Raudhah, rombongan pun kembali berjalan kaki menuju Masjid Az-Zawiyah. Waktu yang di tempuh lebih singkat dari sebelumnya ka rena jarak antarmasjid yang cukup dekat. Hal ini sedikit membantu teman-teman dalam rombongan yang sedang menjalankan ibadah puasa. Sehingga, tenaga yang dike luarkan tidak terlalu banyak.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
