IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Alkisah, pada suatu hari, seorang warga Mesir datang ke Madinah untuk mengadukan gubenurnya Amr ibn Al-Ash. “Saya dizalimi,” wahai Amirul Mukminin. “Perlakuan zalim seperti apa yang kau alami?” Tanya Umar.
“Saya mengikuti lomba pacuan kuda. Kuda saya bisa mendahului kuda anak Amr bin Al-Ash. Ia marah karena saya bisa membalap dan mengalahkannya. Ia turun dari kudanya, memukuli saya di hadapan penonton, termasuk sang gubernur, tetapi tidak seorang pun membela saya.”
Anak gubernur itu bahkan menyatakan, “Mengapa engkau berani mendahuluiku. Tidakkah engkau tahu, aku adalah anak orang paling terhormat di negeri ini (Mesir)!”
Mendengar pengaduan rakyatnya, Umar langsung menemui anak gubernur, Muhammad ibn Amr bin Al-Ash, dan memberikan balasan setimpal berupa pukulan seperti yang dialami oleh warganya tersebut. Setelah itu, Umar “menyentil” sang gubernur, Amir bin Al-Ash.
“Sejak kapan engkau memperbudak rakyat, sementara mereka itu dilahirkan oleh ibu dalam keadaan merdeka!” Tegas Umar. Kasus tersebut menunjukkan betapa tinggi kepedulian dan keadilan sang khalifah (pemimpin umat) terhadap kemerdekaan warganya.
Merdeka adalah hak asasi setiap manusia dan bangsa. Karena itu, siapa pun di muka bumi tidak berhak menindas, menzalimi, mengeksploitasi, menginvasi, dan merampas hak-hak kemerdekaan mereka atas nama apa pun, lebih-lebih atas nama kekuasaan.
Karena, kekuasaan adalah amanah, bukan peluang untuk menjajah. Peringatan HUT kemerdekaan RI mengingatkan kita kepada masjid terbesar di Indonesia, Istiqlal.
Masjid ini memang berarti “masjid kemerdekaan” karena dibangun sebagai sebuah monumen sekaligus sarana ibadah. Masjid ini menyadarkan kita semua akan arti penting kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendahulu kita dengan pengorbanan jiwa, raga, dan harta.
Kata istiqlal itu sendiri dalam bahasa Arab berarti mandiri, merdeka, tidak bergantung, dan didikte pihak lain. Dengan mendirikan masjid ini, para pendiri bangsa seakan berpesan bahwa dengan memakmurkan masjid, kita semua bisa mewujudkan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Masjid menjadi pusat dan sumber inspirasi kemerdekaan dalam segala hal. Sebab, di masjid, semua Muslim hanya mengabdi dan memohon pertolongan Allah SWT (QS al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini oleh para mufasir, antara lain, dimaknai pembebasan manusia dari ketergantungan pada makhluk menuju tauhid.
Kemerdekaan dapat terwujud jika kita semua bersatu dan menyinergikan diri mewujudkan cita-cita mulia. Shalat berjamaah di masjid tidak hanya melambangkan persatuan dan kebersamaan, tetapi juga persamaan, egalitarianisme, dan antidiskriminasi.
Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa dan pengusaha, dapat berdiri dalam shaf sama. Tidak ada masjid yang hanya dikhususkan bagi para penguasa, pengusaha, atau pejabat. Masjid, seperti halnya kemerdekaan, adalah hak semua orang.
Masjid dan kemerdekaan merupakan keniscayaan atau ibarat dua sisi dari satu mata uang. Dalam masjid, kita dididik hanya bertawajuh (mengorientasikan diri) dan takut kepada Allah. Sehingga, kita tidak serta-merta membeo dan gampang diintervensi siapa pun.
Masjid mendidik kita mandiri, mengembangkan semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme sejati. Spirit istiqlal tidak dapat dipisahkan dari semangat pengabdian dan pengorbanan. Kita sudah mewarisi kemerdekaan yang diperjuangkan pahlawan dan pendahulu kita.
Pertanyaannya, sudahkah kita mewarisi pengabdian dan pengorbanan mereka untuk kejayaan negeri ini. Istiqlal mengajarkan kita untuk “menanam” dan “berinvestasi” masa depan, bukan berlomba memanen hasil jerih payah pendahulu kita dengan menghalalkan segala cara. n