Selasa 16 Aug 2016 04:51 WIB

Impikan Makkah dari Pinggiran Citanduy

Jamaah menuju Masjidil Haram, Makkah, untuk melaksanakan shalat Jumat pada 12 Agustus 2016.
Foto:
Seorang santri tengah membaca kitab kuning

Adanya kenyataan itu, Kiai Yusro pun kerap berseloroh kepada adiknya yang menjadi pegawai negeri bahwa ia akan bisa pergi ke Makkah untuk melihat Ka’bah lebih dulu.

‘’Ongkos pergi haji tertutup dengan beberapa kali panenan padi. Nah, saat itu ‘sliramu’ (bahasa Jawa halus untuk menyebut kamu) yang pegawai tentu sulit kan. Tapi itu zaman dahulu. Sekarang berbeda kan?’’ kata Kiai Yusro kepada adiknya pada suatu waktu.

Pernyataan itu dijawab dengan anggukan kepala. Sang adik membenarkan gaji pegawai di awal 1960-an sangat kecil. Berbeda jauh dengan penghasilan mereka yang punya sawah lebar seperti kakaknya tersebut.

Sayangnya, tingginya komoditi hasil produksi petani itu tak mampu bertahan lama. Ketika datang masa Orde Baru,  saat itu munculah kebijakan yang menyatakan agar ketersediaan pangan harus tetap terjaga. Akibatnya, agar semua orang Indonesia tetap bisa makan, maka harga beras ‘ditahan’ pada level harga serendah mungkin. Nah, pada saat itulah nilai tukar komoditi petani, yakni beras, mulai berkurang atau minimal bertahan dengan risiko akan terus digerogoti nilai inflasi yang terus merayap naik.

Situasi seerti ini tentu berbeda dengan nilai jual komoditi non beras yang tak diproduksi petani. Barang-barang pabrikan seperti  komoditi eletronik, malah nilai tukarnya atau harganya dibiarkan terus meambung . Pertumbuhan ekonomi tak menetes ke bawah. Minimal tak menetes ke pesantren milik Kiai Yusro yang jauh di pelosok. Lagi-lagi, kepedulian pemerintah itu makin melorot karena kelompok penguasa yang saat itu berkuasa cenderung mempunya aliran politik ‘anti Islam’. Tak aneh bila kemudian pesantren dibiarkan hidup seadanya: layaknya kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau!

Maka Kiai Yusro mau tidak mau harus bisa mempertahankan hidup keluarga dan pesantrennya. Dan itu berhasil dilakukan walau dengan situasi yang serba pas-pasan. Meski tak pernah secara langsung dikatakan, beratnya beban ekonomi itu tampak jelas seiring kondisi putra-putrinya yang mulai beranjak dewasa. Impian untuk pergi haji yang sebelumnya membara sedikit demi-sedikit memudar termakan waktu. Situasi ini dijalani hingga mendekati usia 75 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement