Meski adanya tekanan yang hebat dari kekuatan komunis, semangat berhaji kaum Muslim Indonesia pada ‘dekade panas’ tetap tak tertahankan. Pada tahun 1960 yang orang naik haji tercatat sebanyak 11.613 orang, tahun 1961 (7.820 orang), tahun 1962 (10.003 orang), tahun 1963 (15.039 orang), tahun 1964 (15.004 orang), dan tahun1965 (15.000 orang).
Bahkan, meski tekanan politik kepada para haji semakin keras, minat untuk berhaji ini ternyata kian lebih meningkat bila dibandingkan dengan periode lima tahun sebelumnya. Pada tahun 1955 tercatat yang berangkat haji mencapai 1.2621 orang. Tahun1956 (13.424 orang), tahun 1957 (16.842 )orang, tahun 1958 (10.314 orang), dan tahun 1959 (10.318 orang).
Namun pada sisi lain, memang harus diakui meski dianggap sebagai orang kaya, bahkan bila di kawasan perdesaan kerap disebut anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) sebagai ‘tuan tanah’, sebetulnya profil mereka tetap masih sangat sederhana. Pergi haji ke Makkah adalah satu-satunya pengalaman mereka untuk pergi ke luar negeri. Ini tentu saja berbeda gaya dan perilaku para orang kaya saat itu yang menduduki jabatan di birokrasi yang pergi ke luar negeri dengan gaya yang mentereng dan dengan tas yang ‘dipenuhi uang’. Para haji pergi dengan penampilan dan gaya ‘sangat sederhana’ bahkan bisa disebut kuno atau ketinggalan zaman. Mereka pun tidak naik kapal terbang, tapi menumpang kapal laut selama tiga pekan untuk sekali jalan.
Penampilan dan sikap sederhana ini terus berulang sampai pertengahan akhir tahun 1970-an, di mana kepergian haji dengan menumpang pesawat udara. Maka tak ayal lagi setiap kali tiba musim haji muncul pemandangan ‘memelas’ sekaligus mengharilan dan juga menggelikan, karena banyak jamaah haji kebingungan ketika menggunakan sarana kapal terbang.
Guruan yang paling sering terdengar adalah betapa para calon haji itu banyak yang melepas sandal jepitnya ketika hendak naik ke kapal terbang. Kegagapan ini makin menjadi ketika mereka kebingunan memakai toilet di dalam pesawat terbang. Ini karena mereka harus mengganti cara bersucinya dengan lebih banyak memakai tissue dari pada dengan air.
Tak hanya itu, para jamaah kala itu kerapkali mengaku perutnya mules sesuai menyantap hidangan yang disediakan para awak pesawat.
’’Makanan apa itu. Gak ada rasanya. Malah bikin saya buang-buang air,’’ begitu cerita para mantan jamaah haji yang berangkat naik pesawat terbang pada akhir tahun 1970-an.
Ya itulah cerita haji zaman sandal jepit!