Rabu 07 Sep 2016 16:43 WIB

Politik Belanda Terhadap Haji

 Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan)

Oleh: Alwi Shahab, Wartawan Republika

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih 200 ribu calon jamaah haji Indonesia dijadwalkan akan wukuf di Arafah pada 26 November 2009 mendatang bersama sekitar tiga juta jamaah dari berbagai negara. Kecuali pada masa revolusi fisik (1945-1949), sejak dibukanya terusan Suez (1869) setiap tahun ribuan umat Islam Indonesia dengan penuh gairah menunaikan rukun Islam kelima. Banyak di antara mereka kemudian jadi mukiman (menetap) di Arab Saudi. Di samping menjadi syekh haji, di antara keturunan mereka ada yang memegang jabatan penting di Arab Saudi.

Berdasarkan laporan resmi pemerintah Hindia Belanda tahun 1941, pada 1878 jamaah haji Indonesia sekitar 5.331 orang, setahun kemudian (1880) jadi 9.542 orang atau naik hampir dua kali lipat. Contoh lain di bawah ini menunjukkan bagaimana besarnya minat umat Islam untuk menunaikan ibadah haji.

Pada 1921 sebanyak 28.795 jamaah Indonesia menunaikan ibadah haji dari 60.786 jamaah seluruh dunia. Pada saat resesi ekonomi yang disebut zaman malaise (Krisis ekonomi dunia) pada 1928 jamaah Indonesia ke Tanah Suci justru meningkat menjadi 52.412 orang, dari 123.052 jamaah seluruh dunia. Masih dalam kondisi krisis ekonomi global (1930, 1931, dan 1932) jamaah haji Indonesia di atas 30 ribu orang. 

Sekembalinya mereka yang berhaji di Tanah Air, tidak sedikit dari mereka yang membawa ajaran murni. Lambat laun ajaran itu berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama itu menguasai Indonesia. Pemerintah Belanda tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam memang banyak dimotori para haji dan ulama.

Kenyataan ini menimbulkan banyak suara yang menginginkan dilarangnya pergi haji, seperti dilakukan di masa VOC (1661).

H Aqib Suminto dalam buku Politik Islam Hindia Belanda, menuturkan perkembangan hubungan dengan Timur Tengah dan semakin banyaknya jumlah haji -- setelah menggunakan kapal uap -- memengaruhi perkembangan agama Islam di negeri ini. Hingga pemerintah Hindia Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah dan kemudian jadi kedutaan sejak 1945.

Apalagi corak sinkretis dan mistik yang terlekat pada agama ini menghadapi tantangan embusan angin segar berupa pemurnian Islam dari Timur Tengah. Timbullah kemudian gerakan reformasi yang ingin meremjakan kehidupan Islam di Nusantara.

Gerakan ini berusaha membebaskan Islam dari pengaruh negatif sinkretisme dan tarekat, menyeleraskan Islam dengan tuntutan dunia modern, sehingga memiliki vitalitas baru.

Seperti tercatat dalam berbagai buku sejarah Islam, sampai akhir ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Seperti kegaduhan di desa-desa sering dilakukan para ulama, banyak di antaranya adalah haji. Belanda melihat aneka kegaduhan ini dari kacamata kepentingan kekuasaannya sehingga menilai para haji sebagai orang-orang fanatik, dan mencurigainya merupakan pemberontakan terhadap pemerintah kafir.

Tapi, Snouck Hurgronje punya sudut pandang berbeda. Ia melihat perbedaan antara jamaah haji yang hanya beberapa bulan tinggal di Makkah dengan beberapa mukimin atau yang 'menahun' tinggal di kota suci untuk memperdalam ilmu agama.

Mukiman yang disebut koloni Jawa ini merupakan reservoir bagi Islam di Indonesia. Apalagi menurut penelitian Suminto, pada akhir abad ke-19 mukiman Indonesia di Tanah Suci merupakan terbesar dan bagian paling aktif. Snouck mengambil kesimpulan, 'di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh tubuh Muslimin Indonesia. Hingga segala gerak gerik para mukimin ini selalu diawasi Konsul Belanda di Jeddah dan wakilnya di Makkah.

Sejak lama di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia terdapat rasa takut terhadap tarekat, karena yakin akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin gerakan ini akan dipergunakan untuk memberontak. Kekhawatiran semacam ini tampak jelas pada peristiwa Cianjur (1885), Peristiwa Cilegon (1888), Peristiwa Garut (1919), dan berbagai peristiwa lainnya yang membuat Belanda kerepotan. Yang terakhir ini Sarekat Islam telah berdiri dan dengan cepat anggotanya berkembang luas. Dalam peristiwa pemberontakan Garut, Sarekat Islam yang baru diresmikan 1919 oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dituduh terlibat.

Menurut Mr Hamid Algadri, dalam bukunya Peran Keturunan Arab di Indonesia, antara lain menulis bahwa kalau gerakan tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar. Sehingga mereka sering dicurigai dan diawasi pemerintah kolonial. Ada kaitan erat antara ide Pan Islam dan jabatan khalifah yang disandang oleh Sultan Turki.

Para haji, dalam hal ini, menduduki posisi sangat penting sebagai faktor pembawa pengaruh Pan Islam dari luar, hingga mereka pun dicurigai dan diawasi pemerintah kolonial. Pan Islam digerakkan pada 1917 oleh Sultan Turki Usmani, Salim I. Gerakan ini cepat berkembang di Indonesia terutama oleh para keturunan Arab. Banyak tokoh Arab di Batavia yang mengirimkan putra mereka untuk belajar di Turki (Istanbul). 

Tapi, setelah golongan nasionalis pimpinan Kemal Attaturk memegang tampuk pimpinan di Turki dan politiknya berubah arah dengan penghapusan khalifah. Ini sangat mengejutkan dunia Islam. Sebab, selama ini ''Istanbul merupakan lambang kekuatan politik bagi dunia Timur,'' tulis Suminta.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement