Senin 23 Jul 2018 14:01 WIB

“Ini Mimpi Saya, Ini Mimpi Saya”

Rupa-rupa sikap jamaah menyikapi pengalaman tiba di Saudi.

Seorang jamaah asal Banten bersujud syukur setibanya di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, Sabtu (21/7).
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Seorang jamaah asal Banten bersujud syukur setibanya di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, Sabtu (21/7).

IHRAM.CO.ID,  Oleh: Fitriyan Zamzami dari Madinah, Arab Saudi

MADINAH -- Sukiman keluar dari gerbang jalur cepat Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz disambut 40 derajat celcius matahari Madinah pada Ahad (22/7) itu. Dinginnya ruangan imigrasi dan ruang tunggu hasil rekayasa pengatur suhu ruangan seketika malih dengan terpaan angin panas.

Petugas menanti di luar gerbang kedatangan, menyemprotkan air zamzam ke wajah pria berusia 65 tahun tersebut. Seketika itu, Sukiman menangkupkan tangan kanannya ke mulut yang ditutupi masker hijau. Ia tak mampu menahan haru. Sesenggukan sembari meneteskan banyak air mata.

Ia tak mampu berkata-kata untuk waktu yang tak sebentar. “Ini mimpi saya, Mas… Ini mimpi saya…” kata dia ketika ditanyai Republika.co.id.

Lantai pelataran Bandara AMA Madinah agaknya terlampau panas itu hari. Jika tidak, kata Sukiman yang datang sendirian ke Tanah Suci, ia hendak bersujud.

Bandara AMA Madinah, adalah lokasi seperempat dari total jamaah Indonesia pertama kalinya menginjakkan kaki di Arab Saudi. Ketimbang Bandara King Abdulaziz Jeddah, ia titik yang jauh lebih dekat dengan Tanah Suci. Perlu berkendara hampir dua jam dari Jeddah ke Tanah Haram di Makkah. Sementara hanya butuh sekira 10 menit hingga sampai ke batas Tanah Suci Madinah.

Rupa-rupa sikap jamaah menyikapi pengalaman tiba di Saudi tersebut. Ada yang menangis seperti Sukiman, ada yang sujud tak memedulikan panasnya lantai pelataran bandara, ada yang tak lepas senyum dari wajahnya, meski tak sedikit juga yang tiba-tiba seperti kebingungan.

Sukiman sedemikian terharu, karena menurut dia, upaya mencapai Tanah Suci tak mudah. Datang melalui Embarkasi Haji Jakarta-Bekasi, ia sudah mengumpulkan uang ke Tanah Suci sejak belasan tahun silam.

“Saya kerja serabutan. Semuanya saya kerjain untuk biaya ke sini,” kata pria yang tinggal di Babelan, Bekasi tersebut. Pada satu titik, ia bahkan sempat bekerja sebagai kuli bangunan.

Uang tabungannya, kata Sukiman, ia belikan sapi yang kemudian dijual lagi untuk menambah modal ke Tanah Suci. Ia mendaftar sejak tujuh tahun silam.

“Nggak begitu lama nunggunya,” kata dia.

Jamaah lain, Huria binti Rafii punya jalan lain untuk tiba di Tanah Suci. Perempuan berusia 67 tahun itu menghabiskan hampir seumur hidupnya membuat kerajinan gerabah di Desa Banyumulek, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

“Sekarang sudah berhenti,” kata dia.

Hasil bertahun-tahun membuat kerajinan itulah yang ia gunakan sebagai biaya naik haji. Ia tersenyum tak berhenti sejak keluar dari pemeriksaan imigrasi di Gerbang Haji, Bandara AMA Madinah.

Seperti tak memedulikan usia, ia berjalan tegap menuju bus dari Paviliun Lima, tempat jamaah haji Indonesia sementara dikumpulkan selepas tiba di bandara, Jumat (20/7). Ia telah menunggu selama tujuh tahun sejak mendaftar.

Senyum serupa Nenek Huria juga tersungging di wajah Nenek Rahayu. Jamaah berusia 67 tahun asal Pemalang, Jawa Tengah tersebut berangkat dari Embarkasi Haji Solo dan tiba di Bandara AMA Madinah pada Kamis (19/7).

Selama belasan tahun, kata Nenek Rahayu, ia menyisihkan hasil bertani di kampung halaman. Keuntungan menanam padi di sawah yang kerap tak menentu seturut cuaca sedikit demi sedikit ia kumpulkan untuk berangkat bersama sang suami. Menunggu selama tujuh tahun, ia akhirnya berangkat tahun ini.

“Panas banget, Mas, tapi hati saya senang sudah sampai di sini,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement