Sabtu 22 Dec 2018 18:17 WIB
Membedah Hoaks Saudi Larang Haji Palestina (3-habis)

Dukungan Politik dan Undangan Haji Raja untuk Palestina

Kebohongan larangan haji Palestina bukan sekali dan terakhir digaungkan.

Jalan raya di sekitar masjid Namirah dipadati jamaah haji yang melaksanakan shalat Dhuhur, Senin (20/8), pada saat pelaksanaan ibadah wukuf.
Foto: AP/Dar Yasin
Jalan raya di sekitar masjid Namirah dipadati jamaah haji yang melaksanakan shalat Dhuhur, Senin (20/8), pada saat pelaksanaan ibadah wukuf.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Hoaks larangan haji Palestina ternyata tak hanya heboh di Indonesia, tetapi juga negeri jiran Malaysia. 

Di Indonesia, kabar bohong tersebut ditepis Duta Besar Saudi untuk Republik Indonesia, Osama Shuaibi melalui konferensi pers beberapa waktu lalu. Di Malaysia, berita dusta yang sama disanggah Duta Besar Palestina untuk Kerajaan Malaysia, Walid Abu Ali. 

Menurut Peneliti Center for Research & Intercommunication Knowledge (CRIK) Arab Saudi Dr Ali Mauof dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (22/12), kebohongan tentang pelarangan orang-orang Palestina untuk menunaikan ibadah haji bukanlah kebohongan yang pertama dan bukan pula yang terakhir kali. 

“Sejatinya kebohongan demi kebohongan ini tidak akan berhenti sampai krisis ketidakstabilan di negara-negara Arab berakhir,” kata dia memprediksi.

Padahal, kata dia, fakta berkata lain. Tiap tahun ribuan jamaah haji Palestina berangkat ke tanah suci. Pada 2017 misalnya, Palestina mendapatkan kuota haji sebanyak  6.600 orang. Dari daftar calon jamaah haji menyebutkan, 3.960 orang berasal dari Tepi Barat dan 2.640 lainnya dari Jalur Gaza. 

Baca juga, Mustahil Dilarang Berhaji, Padahal Saudi Dukung Palestina

Tiap tahun juga, kata Ali, Kerajaan memberikan undangan khusus pergi haji untuk warga Palestina sebagai tamu raja. Jumlahnya bervariasi setiap tahunnya. Undangan tersebut rutin diberikan sebagaimana undangan-undangan untuk negara lain.  

Ali mengatakan, undangan tersebut adalah bentuk keterikatan Saudi dan Palestina sebagai sesama negara Muslim dan Arab. Dukungan politik kepada Al-Quds sesungguhnya sifatnya permanen dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Saudi, kata Ali, menentang pemindahan kedutaan Amerika Serikat ke al-Quds dan memperingatkan konsekuensi yang digambarkan dengan kata “berbahaya” terhadap langkah yang tidak dibenarkan dan tidak bertanggung jawab tersebut. 

Pada 1980, ungkap Ali, Saudi bekerjasama dengan negara-negara Arab, negara-negara Islam, dan negara-negara sahabat, berhasil mengajukan dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan PBB dengan nomor 478 pada 1980, guna menuntut semua negara yang membangun misi diplomatik di al-Quds agar segera menariknya dan membatalkan semua prosedur yang dilakukan pemerintah Zionis untuk mengyahudisasikan Al-Quds. 

“Keputusan tersebut dinilai sebagai kemenangan bagi diplomasi Islam dan kekalahan bagi rencana Zionis terhadap kota al-Quds,” tutur dia. 

Dia menyebutkan, Komite al-Quds didirikan dalam kerangka Organisasi Kerjasama Islam guna melestarikan identitas Arab al-Quds dan karakter Islamnya. Organisasi tersebut mengeluarkan kebijakan tentang Dana Al-Quds (Al-Quds Fund) sembari menekankan peran penting yang dimainkan  dana tersebut dalam upaya mendukung perjuangan rakyat Palestina.  

Arab Saudi, ungkap dia, mendukung modal Dana al-Quds tersebut guna melawan kebijakan Yahudisasi, melestarikan karakter Arab dan Islam, dan mendukung perjuangan rakyat Palestina di al-Quds dan seluruh wilayah yang terjajah.

photo
Jamaah haji Palestina di Masjidil Haram

Tak hanya itu, kata dia, Saudi berkontribusi dalam merenovasi peninggalan-peninggalan bersejarah dan situs-situs suci Islam di Palestina. Saudi menanggung biaya renovasi dan perbaikan Dome of the Rock, Masjid al-Aqsha, Masjid Khalifah Umar bin Al-Khaththab, dan tempat tinggal imam dan muazin di Al-Quds guna menunjukkan kepedulian Kerajaan Arab Saudi dalam menjaga tempat-tempat suci umat Islam.

Di samping itu, kata dia, pada Konferensi Liga Arab kedua puluh sembilan yang diselenggarakan di Dhahran, Arab Saudi Timur pada 15 April 2018, Kerajaan Arab Saudi menggunakan istilah "Konferensi Al-Quds", sebagai bentuk dukungan dan sokongan terhadap hak rakyat Palestina yang tetap dan adil di Al-Quds.

Ali mengungkapkan, dalam laporan PBB, terlihat dua puluh besar negara pendukung pengungsi Palestina di tingkat dunia. Arab Saudi berada di posisi keempat setelah Amerika Serikat, Komisi Eropa, dan Inggris, sedangkan Kuwait ada di posisi kedelapan. Uni Emirat Arab berada di urutan kedua belas. 

“Daftar tersebut tidak memuat semua negara Timur Tengah yang “memperjualbelikan” masalah Palestina, baik di media maupun kepada publik,” ujar dia.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement