Kamis 04 Jun 2020 13:52 WIB
haji

Lagu Para Pengendara Unta: Kisah Karavan Haji ke Makkah

Kisah pengendara unta untuk berhaji ke Makkah.

Mahmal  dan Kiswah saat  di bawa ke Makkah bersama karavan jamaah haji.
Foto:

Pada tahun 1171, Ayyubiyah menegakkan kembali daulah bermazhab Sunni di Mesir. Selanjutnya Sultan Shalahuddin menisbahkan gelar baru bagi dirinya sebagai “Pelayanan dari Dua Tempat Suci" (Khadim al-Haramayn al-Sharifayn). Hal ini dilakukan setelah dia berhasil menguasai Yerusalem.

Namun, kala itu di kalangan peziarah haji tetap ada rasa tidak aman yang diciptakan oleh Tentara Salib yang masih ada di wilayah timur Sungai Yordan hingga meluas ke ‘Aqaba. Situasi ini membuat rute Mesir melintasi Sinai dan sepanjang Teluk ‘Aqaba menjadi sangat berbahaya.

Tak hanya itu, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Ayyubiyah, sempat tidak ada karavan haji yang lazimnya menggunakan unta meninggalkan Mesir atau Suriah ke Makkah. Penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 1256 makin sulit karena terjadi gempa bumi yang sampai menghancurkan Masjid Nabawi di Madinah.

Ketiadaan jamaah haji dari luar tanah hijaz tersebut dalam beberapa dekade kemudian juga tidak muncul setelah orang-orang Mongol merebut Baghdad pada tahun 1258. Setidaknya, tidak ada karavan haji Irak.

Baru setelah pendirian 'Bahrite' (bahr adalah bahasa Arab untuk 'sungai' atau 'laut') Kesultanan Mamluk di Kairo, yang membentang di atas Mesir dan Suriah (1252–1382), ziarah haji ke Makkah dimulai lagi. Kemenangan Mamluk, Sultan Baybars (memerintah tahun 1260-1277), atas Tentara Salib memungkinkan pembukaan kembali jalur Mesir ke Makkah (Darb al-Misrî ) pada tahun 1266 M yang melalui wilayah ‘Aqaba.

Sultan Baybars juga memulai praktik pengiriman kiswah, serta mahmal (struktur kayu berbentuk piramida yang ditutupi oleh sutra tebal warna kuning atau warna Dinasti Mamluk), yang melampirkan salinan Alquran, di karavan haji ke Makkah.

Setelah menginvasi Suriah dan merebut Kairo dengan menjungkirkan Mamluk 'Burgite' Sirkasia dan Georgia (1382–1517), pada tahun 1516 Sultan Selim I (memerintah Ottoman pada tahun 1512-1520) mengganti corak pengiriman mahmal dan kiswah yang disulam dengan nama-nama leluhurnya, bersama karavan dari Damaskus ke Mekah.

Mahmal Utsmaniyah (Ottoman) tidak ditutupi sutra berwarna kuning, tetapi dengan sutra merah atau hijau, disulam dengan judul dan monogram (tughra) sultan, serta dengan ayat-ayat Alquran. Setiap tahun Sultan Selim I selalu bersedekah untuk orang miskin dan gaji pejabat Makkah yang dilakukan melalui rute karavan Suriah (Darb al-Shami) ke Makkah.

        

                                  *****

Satu-satunya catatan yang menggambarkan rute ke Makkah dari Suriah pada Abad Pertengahan dikisahkan pada tahun 1357 oleh sarjana Arab Ibnu Juzay dan oleh musafir terkenal Ibnu Batutah saat berusia 31 tahun setelah ia meninggalkan Damaskus dengan karavan haji.

Setelah penaklukan Ottoman, beberapa catatan perjalanan (rihlah) menggambarkan Darb al-Hajj al-Shami (Jalur ke Makkah dari Suriah) yang baru. Kala itu rute baru berhaji ini mebentang dari Damaskus ke Makkah. Jalur ini melewati banyak tempat dan tempat pemberhentian yang terdaftar.

Salah satu jasa jalur ini terkait dengan perbaikan Ka'ah. Melaui jalur ini, kala itu ada anak seorang pandai emas Ottoman yang memiliki hak istimewa untuk memperbaiki pancuran air yang terbuat dari emas di Ka'bah. Dia bernama Evliya Çelebi yang pergi Makkah pada tahun 1672 melalui rute baru dari Suriah ini. Dalam catatan yang dibuatnya dia menggambarkan suasana tempat-tempat berhenti, bangunan, peziarah, dan percakapan mereka dalam perjalanan menuju Makkah.

Catatan lain serupa juga dibuat oleh Sufi Murtada bin ‘Ali bin 'Alawan yang pergi berziarah ke Mekah pada antara tahun 1677-78 dan 1709. Pada perjalanan kembali ke Makkah yang kedua, antara Makkah dan Madinah, ia dan rekan-rekan musafirnya diserang pada malam hari oleh penyamun bani Hudhayl. Kisahnya makin tragis karena penyamun itu meninggalkan peziarah haji dengan telanjang bulat di padang pasir.

Namun, di antara sekian banyak kisah perjalanan ke Makkah melaui rute baru dari Suriah ini ada narasi paling terperinci karena dilengkapi dengan tanggal, bentuk kondisi bangunan benteng tempat karavan haji singgah, dan deskripsi instalasi lain untuk para peziarah. Yang menulis rihlah ini adalah Mehmet Edib, seorang hakim Ottoman dari Candia di Kreta, yang melakukan perjalanan dari Konstantinopel ke Mekah pada 1778.

Selain itu, terdapat catatan perjalan ke Makkah ini yang unik. Hal itu karena penulisnya adalah seseorang yang beragama Kristen. Dalam tulisannya dia menceritakan tidak disambut dengan hangat sesampai di tanah hijaz (tanah haram).

Orang Barat lainnya yang pertama memasuki kota-kota suci Islam adalah Ludovico di Varthema yang berasal dari Bologna, Italia. Ia datang ke Makkah dengan berpura-pura menjadi Muslim dari Kerajaan Mamluk. Ia sendiri memang dipekerjakan sebagai penjaga di karavan haji yang meninggalkan Damaskus pada April 1503 dan mencapai Makkah pada bulan Juni.

Di samping itu, ada catatan orang non-Muslim lain yang kala itu sampai ke Makkah. Dia adalah seorang penjelajah Anglo-Swiss yang bernama Burckhardt pada tahun 1822. Saat itu dia juga berpura-pura menjadi Muslim dengan memakai identitas Muslim Shaykh Ibrahim ibn 'Abdallah. Dia malah sempat tinggal di setahun di Makkah, yakni antara tahun 1814–1815.

Kala itu Burckhardt mengaku sampai ke Makkah yang telah ia jangkau melalui rute Mesir dan Laut Merah, kemudian bergabung dengan sebuah karavan haji dari Damaskus. Laporan Burckhardt merupakan paling terperinci perjalanan karavan haji yang mencakup deskripsi moda transportasi, keadaan jalan haji, serta interaksi antara Beduy dan otoritas Ottoman pada tahun 1888.

Atas semua catatan pengelanaan para penunggang unta ke Makkah, tampak jelas perjalanan haji ke Makkah kala itu sangat tidak mudah. Semua serba bertaruh nyawa dan harta benda. Jadi, tidak semerdu lagu "Para Pengendara Unta" yang kini tengah didaftarkan di UNESCO sebagai warisan budaya dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement