Selasa 15 Sep 2015 18:52 WIB

Bersembunyi dari Baladiah (1)

Salah satu pemondokan haji di Arab Saudi.
Foto: Republika/Heri Ruslan/ca
Salah satu pemondokan haji di Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita dari Tanah Suci

 

NAKKAH -- Tok! Tok! Tok! Saya mengetuk pintu di kecil sebuah hotel. Hotel itu terletak di sebelah tempat saya menginap. Terdengar teriakan dalam bahasa Arab dari dalam. Saya yang tidak paham kembali mengetuk pintu berwarna cokelat itu.

Tidak lama, pria mengenakan pakaian warna merah keluar. “eh, ada apa?,” ujar pria bernama Andi Suherman itu dengan logat Sunda yang sangat kental. “Mau beli mi ayam,” ujar saya. Dengan cepat, dia membukakan pintu untuk saya.

Saya pikir saya tidak perlu masuk karena hanya ingin pesan tujuh mangkok mi ayam. Setelah saya masuk, Andi langsung menutu pintu. “Beli mi berapa?” tanya dia. Saya jawab, saya pesan tujuh mangkok mi ayam.

Dia langsung berteriak memanggil istrinya. “Neng. Mi ayam nih,” kata dia. Dia pun meminta saya duduk dan menunggu sebentar. Andi pun menyodorkan kursi ke arah saya. Istrinya, Mengtumena, yang juga orang Indonesia keluar membawa mi dan ayam sebagai taburan.

Andi dan istrinya bekerja dengan pemilik hotel tersebut. Keduanya menempati ruangan yang memiliki pintu sendiri. Ruangan itu disekat menjadi tiga bagian. Di bagian depan, ruangan berfungsi sebagai dapur. Ada dua kompor yang sedang menyala. Kompor pertama untuk memasak mi ayam.

Kompor lainnya yang diletakkan di bawah untuk memasak kambing. Kambing itu akan dipadukan dengan nasi mandi. “Doyan kambing?” tanya Andi. Saya menjawab tidak makan kambing.

Dia pun bercerita memasak nasi mandi tidak terlalu sulit. Hanya saja, menggodok dagingnya membutuhkan waktu. Apalagi, ukuran kompor miliknya tidak sepadan dengan ukuran panci yang besar.

Percakapan berlanjut ke musibah mobile crane terjungkal di Masjidil Haram, Jumat (11/9) pekan lalu. Andi bertanya mengenai jamaah asal Indonesia yang menjadi korban meninggal. “Tambah lagi yang meninggal?” kata dia.

Dia pun menambahkan hanya dapat memantau jumlah korban meninggal melalui stasiun televisi. Saya menoleh ke arah layar komputer di dalam ruangan itu. Layar itu menayangkan stasiun televisi Indonesia melalui jaringan internet.

Tidak lama, saya pun pamit karena harus mengetik berita. “Kang, mi ayamnya boleh diantar ke daker aja nggak,” kata saya. Daker yang saya maksud, yaitu Kantor Daerah Kerja Makkah yang menjadi markas sekaligus tempat saya menginap. Dia menyanggupi mengantar makanan ke daker.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement