REPUBLIKA.CO.ID, Jeddah (Pinmas) --- Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Djamil menyoroti masalah ditahannya 177 calon jamaah haji (calhaj) Indonesia yang hendak berangkat dari Filipina. Dia menegaskan, kasus warga negara Indonesia (WNI) yang menggunakan paspor Filipina untuk berhaji ke Tanah Suci tersebut bukan ranah Kementerian Agama. Namun demikian, Abdul Djamil mengimbau masyarakat untuk mengikuti regulasi yang ada jika ingin beribadah haji.
"Kalau mau berangkat haji, ikutilah jalur yang semestinya sehingga terjamin dari aspek keberangkatannya, perlindungannya, bimbingannya, dan pelayanannya," kata Abdul Djamil di Kantor Urusan Haji, Jeddah, Sabtu (20/8) melalui siaran pers."Saya mengimbau supaya tidak menggunakan media seperti itu. Apalagi dia meminta visa di negara lain. Itukan konsekuensinya dia harus memiliki paspor dari negara yang bersangkutan," tambahnya.
Mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini mengakui bahwa antrean berangkat haji saat ini cukup panjang. Bahkan di Sulawesi Selatan mencapai tiga puluh satu tahun, dan di Kalimantan Selatan mencapai dua puluh delapan tahun. Namun demikian, fenomena antrean berhaji tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Negara tetangga antrean hajinya mencapai lima puluh tahun.
Antrean haji menurut Abdul Djamil tidak bisa dihindari karena terkait kapasitas Tanah Suci, Armina, dan Masjidil Haram yang terbatas. Kalaulah saat ini Majidil Haram diperluas, namun masalahnya adalah di Mina yang tidak diperluas karena batas-batasnya sudah ditentukan.
"Saya imbau kalau ingin berhaji silakan daftar sedini mungkin. Sebab, hingga sekarang antara kuota dan peminat haji belum berimbang dan itu tidak hanya di negeri kita,”kata dia. Sebanyak 177 WNI menggunakan paspor Filipina agar bisa berangkat haji. Kini mereka masih tertahan di Filipina dan akan segera dideportasi. (Baca: 177 Jamaah RI Ditahan di Filipina).