Kamis 23 Feb 2017 04:19 WIB
Catatan Ahmad Baluki (Ketua Umum HIMPUH)

Mitos Ular dan Tulah Ka’bah: Pejabat Orba Naik Haji

Masjidil Haram tempo dulu.
Foto:
Tenda penginapan jamaah haji di sekitar Makkah

Baluki mengakui, jelas bagi pejabat Orde Baru yang saat itu hampir bisa dikatakan sebagai ‘Islam abangan’ (Islam sekedar syahadat saja), memutuskan untuk pergi haji jelas bukan hal yang sangat mudah. Ini makin sulit bila pejabat itu mantan priyayi dan datang dari keluarga yang sebelum Orde Baru muncul sikap politiknya secara tradisonal terafiliasi kepada Partai Nasional Indonesia (PNI).

‘’Jelas pertarungan batin yang luar biasa. Apalagi di masyarakat pun berkembang mitos bila seseorang naik haji maka segala perbuatan dia selama ini akan langsung di balas ketika berada di Makkah. Istilahnya kena 'tulah'. Gampangnya, kalau di rumah suka nendang orang maka di sana dia akan terkena balasan ditendang, bila dulu suka mukul maka ketika berhaji akan dipukul orang,’’ ujar Baluki.

Tentu saja, adanya mitos itu membuat banyak orang jeri pergi berhaji. ’’Bahkan saya sempat punya klien pejabat seorang penting di Bina Graha yang baru memutuskan berangkat setelah melakukan tujuh kali umrah secara berturut-turut. Saya tahu persis karena saya yang melayani beliau,’’ kata Baluki.

Selama tujuh tahun itu, lanjut Baluki, sang pejabat yang juga menjadi kerabat dekat orang penting itu selaku pergi umrah setiap pulang dari kunjungan ke Eropa. Tapi untuk sampai yakin siap naik haji ternyata butuh perjalanan dan perenungan yang panjang. Selama waktu itu pun pejabat itu mengaku takut terhadap mitos 'tulah Ka'bah' tersebut. Maka Baluki mencoba terus menyakinkan bahwa soal pembalasan yang model  ‘cash and cary’ di tanah suci itu tak benar adanya.

‘’Saya katakan, bapak kalau Allah mau balas perbuatan maka tak usah harus menungu di Makkah. Di sini saja, di tanah air, semua itu bisa dilakukan. Lillahita’ala aja Pak. Serahkan kepada Allah,’’ kata Baluki.

Mendengar nasihat itu, entah karena apa tiba-tiba hati sang pejabat terbuka.’’Beliau langsung minta antarkan naik haji ke Makkah. Tak hanya itu, karena dia tak mau barang bekas orang, dia minta saya beli mobil baru khusus untuk melayani keperluan transportasi ibadah hajinya. Saya diminta beli mobil GMC buatan Amerika.’’

‘’Nah, ketika pulang dari Arafah itu bapak itu kemudian dapat renungan baru. Di tengah jalan mobil baru itu koplingnya rusak. Dia tengah jalan dia berujar begini: apa salah saya ya. Kok jadi begini ya?,’’ kata Baluki menirukan keresahan sang pejabat Bina Graha itu.

Namun, untunglah di tengah jalan muncul pertolongan Allah. Tiba-tiba lewatlah rombongan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi yang saat itu di jabar Achmad Tirtosudiro. ‘’Pak Achmad tentu saja segera menaikan beliau ke mobilnya. Dia jelas tahu siapa pejabat yang tengah saya layani saat itu. Saya pun ditinggal untuk urus mobil, pejabat dan isteri bersama Pak Achmad  pergi naik mobil kedutaan.’’

Seusai ibadah haji sang pejabat mengaku merasa lega bukan main. Mitos ‘pembalasan langsung’ di tanah suci ternyata tak terjadi. Baluki pun mengaku ketiban banyak rezeki, salah satunya adalah mempunyai mobil baru buatan Amerika.

‘’Mobil keren itulah yang kemudian menemani saya ketika pada masa selanjutnya melayani para jamaah haji dan umrah. Rezeki yang tak saya kira sama sekali,’’ kata Baluki.

Dan khusus kepada para mahasiswa yang saat itu belajar di Arab Saudi, kedatangan para pejabat Orde baru untuk menunaikan ibadah haji atau umrah menjadi berkah tersendiri. Berkat pelayanan yang mereka berikan, para mahasiswa yang belajar di tanah suci itu mendapat  uang saku tambahan. Jumlahnya memang tak terlalu besar, tapu bisa dikatakan sangat lumayan bagi ukuran kantong seorang pelajar yang hidup di negeri orang.

Maka beberapa pejabat pun banyak menjadi favorit para mahasiswa. Kedatangan mereka ditunggu-tunggu. Seorang menteri asal Aceh misalnya dikenal sangat dermawan. Dia tak segan memberikan uang saku, tak hanya dalam bentuk real tapi kerap dalam bentuk uang dolar AS.

''Uang realnya ada di kantong sebelah kanan, dan uang dolarnya ada di kantong sebelah kiri. Para mahasiswa di Suadi yang mencari uang tambahan dengan menjadi pemandu haji -umrah, selalu deg-degan bila melihat tangan menteri itu bergerak. Sebab, banyak yang berdoa agar sang menteri merogoh kantongnya yang ada di sebelah kiri saja,'' ujar Baluki. Dan memang ketika di tanah air, menteri ini pun oleh banyak kalangan disebut 'si dermawan berkantong merica' (orang Eropa di abad pertengahan dulu menyebut orang kaya dengan sebutan punya kantong merica yang saat itu harganya setara dengan emas).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement