Sabtu 13 Jan 2018 11:20 WIB

Ke Tanah Suci Kian Mahal

Suasana renovasi Mataf Masjidil Haram.
Foto:
Masjid Nabawi diguyur hujan Selasa pagi (21/11).

Kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk memberlakukan PPN sebesar lima persen pada 1 Januari lalu memang menyita perhatian pemerintah dan masyarakat. Pemberlakuan PPN tersebut merupakan kebijakan pertama kali bagi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Kebijakan itu akan menyasar mayoritas barang mewah dan jasa.

Langkah itu diambil akibat dari rendahnya harga minyak. Negara-negara kawasan Teluk menginginkan adanya peningkatan pemasukan anggaran. Dilansir dari BBC, Rabu (10/1), UEA memperkirakan pendapatan PPN akan mencapai sekitar 12 miliar dirham atau 2,4 miliar poundsterling. Pajak tersebut akan dikenakan kepada beberapa sektor, seperti bensin, solar, makanan, pakaian, tagihan listrik, dan kamar hotel.

Pemasukan Arab Saudi didapatkan 90 persen dari industri minyak, sedangkan UEA sebesar 80 persen. Dengan harga minyak yang rendah membuat kedua negara tersebut mencari jalan keluar agar pemasukan besar tetap masuk ke kas negara.

Untuk menyikapi kebijakan itu, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama Arfi Hatim mengungkapkan, biro perjalanan atau travelhaji dan umrah harus lebih cermat menyikapi kebijakan PPN lima persen tersebut. Jika harus menaikkan harga perjalanan umrah, kata Arfi, kenaikannya tidak sampai memberatkan masyarakat. Apalagi, kebijakan Arab Saudi hanya berimbas secara langsung kepada beberapa item, seperti akomodasi di Arab Saudi, transportasi, dan konsumsi.

"Jadi, tidak seluruhnya total biaya dikenakan lima persen. Kami minta supaya lebih cermat dalam menaikkan harga imbas dari kebijakan Arab Saudi, walaupun harus dinaikkan," ujar Arfi kepada Republika.co.id, Rabu (10/1).

Kementerian Agama, lanjutnya, sedang membahas harga referensi bagi biro perjalanan umrah apabila harus menaikkan harga. Karena itu, Kemenag belum memberikan imbauan berapa patokan harga kenaikan yang harus dipatuhi sebuah biro perjalanan umrah. Menurut Arfi, dampak dari kebijakan tersebut juga relatif. Ia menilai pengenaan PPN lima persen tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap bisnis perjalanan umrah.

Arfi menjelaskan, kebijakan ini tidak akan terlalu memengaruhi minat jamaah umrah. Pengenaan pajak sebesar lima persen, atau bahkan 10 persen, tidak akan berpengaruh pada minat masyarakat. "Ini bisnis sampai kiamat," ujar dia.

Berdasarkan data Kemenag, jumlah jamaah umrah Indonesia pada 2017/1438 Hijriyah mencapai 870 ribu. Setiap tahunnya terjadi penambahan sekitar 100 ribu-120 ribu jamaah. Pada 1439 H ini kami perkirakan lebih dari satu juta yang berangkat.

"Minat masyarakat melaksanakan ibadah umrah dilandasi daftar tunggu haji dan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata dia.

Kendati demikian, Arfi menegaskan agar hal ini tidak dijadikan perusahaan tertentu menaikkan harga yang tidak masuk akal. Arfi juga mengimbau supaya masyarakat lebih berhati-hati dan cermat dalam memilih penyelenggara haji dan umrah. Dia menjelaskan, bukan tidak mungkin situasi ini dimanfaatkan oleh penye lenggara haji dan umrah nakal dengan memasang harga murah, tetapi dengan tingkat risiko ketidakberangkatan yang tinggi.

Arfi menyarankan agar masyarakat mengecek harga yang ditawarkan biro perjalanan haji dan umrah apakah sesuai ketentuan. Kemudian, calon jamaah perlu memperhatikan jangka waktu pemberangkatan sejak mendaftar agar jangan terlalu lama menunggu.

Catatan lainnya, perlu ada perjanjian tertulis konsumen dengan penyelenggara haji dan umrah. Perjanjian tersebut harus mencantumkan hak dan kewajiban kedua belak pihak sehingga tidak ada yang dirugikan antara konsumen dan penyelenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement