Jumat 28 Dec 2018 20:35 WIB

Indonesia Minta Saudi Tangguhkan Biometrik Umrah

Kebijakan biometrik umrah dinilai memberakat jamaah Indonesia yang tinggal di daerah.

Rep: Novita Intan/ Red: Nashih Nashrullah
Aksi menolak penerapan visa rekaman biometrik melalui VFS Tasheel di Kedutaan Arab Saudi, Jakarta
Foto: di Weda/EPA-EFE/ADI WEDA
Aksi menolak penerapan visa rekaman biometrik melalui VFS Tasheel di Kedutaan Arab Saudi, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah Indonesia telah meminta Pemerintah Arab Saudi menunda penerapan kebijakan rekam biometrik bagi calon jamaah umrah. Permintaan ini telah disampaikan melalui lisan maupun surat. 

"Permintaan penundaan ini sampai pihak Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel selaku operator yang ditunjuk, dapat menyiapkan segala sesuatunya secara layak," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag Nizar Ali, dalam keterangannya kepada Republika.co.id, di Jakarta Jumat (28/12). 

Sebagai solusi, Nizar merekomendasikan agar pengambilan biometrik ini dilakukan sebelum jamaah keluar dari Indonesia seperti halnya jamaah haji, atau kerjasama sharing data biometrik antara Arab Saudi dengan Kantor Imigrasi Indonesia. 

"Ini akan sangat membantu mengurangi lalu lintas jamaah yang memakan biaya cukup besar bagi mereka yang tinggal di daerah," ujar Nizar. 

Dalam rapat koordinasi ini, hadir perwakilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Luar Negeri serta para pengurus asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah seperti Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) dan asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah lainnya. Senada dengan Nizar Ali, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus M Arfi Hatim mengatakan langkah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mengharuskan rekam biometrik sebagai syarat pengajuan visa umrah, telah menimbulkan kekhawatiran. 

Menurutnya, banyak jamaah yang mengurungkan niat untuk melaksanakan ibadah umrah karena terkendala syarat rekam biometrik tersebut. Hal ini disebabkan sulit dan mahalnya proses rekam biometrik. 

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, menjadi salah satu alasan proses rekam biometrik tersebut menjadi sulit dan mahal. "Sementara keberadaan kantor layanan biometrik sangat terbatas. Ada biaya tambahan yang dikeluarkan untuk dapat sampai ke lokasi layanan biometrik tersebut," jelas Arfi. 

Arfi menyatakan, Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus sengaja mengundang para stakeholder terkait kebijakan ini untuk duduk bersama mencarikan jalan terbaik bagi jamaah umrah. 

Sementara itu, para asosiasi meminta agar BKPM meninjau izin VFS Tasheel di Indonesia karena terbukti proses pengambilan biometrik ini dinilai menyengsarakan jemaah. Mereka mencontohkan Malaysia yang menurut mereka tetap menolak keberadaan VFS Tasheel sekalipun kebijakan itu berasal dari Pemerintah Arab Saudi. 

Mereka menilai tidak banyak yang diberikan VFS Tasheel bagi pertumbuhan dunia investasi di Indonesia, justru mereka menarik dana masyarakat ke luar negeri. Terhadap hal ini, BKPM melalui Kasubdit Deregulasi meminta para asosiasi untuk bersurat secara resmi agar dapat dilakukan klarifikasi dan pertemuan dengan pihak VFS Tasheel. Pemerintah, baik melalui Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Agama telah meminta agar kebijakan ini ditinjau. 

Namun pemerintah Arab Saudi hingga saat ini masih bersikukuh untuk melaksanakannya. Kebijakan ini telah memancing reaksi masyarakat dan pengusaha perjalanan ibadah umrah dan sempat ditunda pelaksanaannya pada September 2018 lalu. 

Salah satu asosiasi bahkan telah menyerukan kepada anggotanya untuk menghentikan pengiriman Jamaah umrah sebagai bentuk keprihatinan dan protes atas kebijakan tersebut.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement